Jika kamu berpikir bahwa mematahkan kenangan itu semudah menyelenggarakan upacara penguburan, maka mulai sekarang kamu harus membetulkan ingatan bagaimana cara memanjatkan doa-doa yang benar saat keranda mulai diturunkan.
Kamu juga mesti paham bahwa mengkafani kenangan itu tidak bisa memakai sekedar kain tenunan, banyak hal yang mesti dipersiapkan. Mulai dari pikiran yang tak boleh terperangkap hening, hingga keinginan yang tak bisa lagi dibiarkan mengering. Â
Kamu mengerti banyak tentang betapa kuatnya gelombang kenangan saat hujan, bila kamu tak mau terkena tempiasnya, maka sudah seharusnya kamu menepi ke gua batu. Di situ, kamu hanya mesti menemui pekat. Tanpa perlu takut lagi bersepakat dengan kenangan yang terlanjur memberat.
Kamu mungkin bangga aku telah berhasil kamu lupakan. Tapi kamu lupa, aku bukanlah sejenis kenangan yang mudah dihilangkan. Aku ada. Dan aku akan selalu memberimu pertanda. Melalui jejak-jejak sajak di tanah-tanah yang kamu pijak. Juga melalui puisi-puisi yang aku titipkan pada kolom tinggi letusan gunung berapi.
Ingatlah ini saja. Di saat kita membicarakan kenangan yang hendak kita paksa meninggalkan rongga kepala, buruknya catatan dalam ingatan akan membuat kita tetap baik-baik saja.
Percayalah. Atau menyerah sajalah.
Biarkan saja kenangan itu tumpah. Asalkan tidak sampai patah.
Palangkaraya, 2 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H