Saya berada di antara dua ruang yang memisahkan cara pandang saya terhadap dunia. Ruang abstrak di luar jendela dan ruang realita di dalam kereta.
Aspal jalan dan deretan pepohonan berlarian saling pacu dengan timbunan kabut dan persawahan. Menciptakan ornamen samar yang tak mungkin untuk dilukiskan. Seolah mengajarkan bagaimana cara terbaik menghindar dari kenyataan.
Begitulah bila kita melihat dari balik tebalnya kaca. Semua berubah menjadi tak semestinya.
Sementara di dalam kereta, rasa kantuk menyusup masuk di kedalaman iris kepala. Membuat sebagian besar orang tenggelam dalam percakapan yang sangat diam. Lampu-lampu yang menyala, seperti alat peraga yang justru disengaja untuk memperdaya mata. Suasana di gerbong kereta, perlahan-lahan meninggalkan realitanya.
Pada setiap perjalanan, sebagian besarnya memang kita habiskan untuk menyenangkan waktu luang.
Suatu saat kereta berhenti, dua ruang menjadi satu kembali. Menyadarkan saya realita yang sebenarnya, adalah ketika semua gambar bisa tertangkap indera, sejelas-jelasnya. Bukan lagi sebuah skenario maya yang seringkali disebut sebagai asa.
Kisaran, 22 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H