Kau duduk termangu menunggu panggilan. Dari suster yang lalu lalang membawa berkas sembari menjahit senyuman. Kau menunggui aroma lorong sebuah rumah sakit agar lekas menghilang dan berharap bisa digantikan wangi kembang yang mekar di waktu malam, kau lupa itu sama saja dengan kau sedang menjumpai kemustahilan. Seperti mengerjakan rumus sederhana perkalian angka tapi menggunakan algoritma yang sanggup menghitung berapa jumlah urat syaraf di kepala.
Kau berharap dokter segera tiba. Menjumpaimu dan berkata kau baik-baik saja. Hanya sedikit memar di hati. Karena terlalu banyak mempercayai mimpi yang sulit ditepati sehingga kau terjatuh berkali-kali. Dalam keterpaksaan sunyi.
Seorang suster memanggil namamu. Kau berdiri dengan sedikit ragu-ragu. Akankah kau terus mencari-cari diagnosa, sementara kau tahu sebenarnya kau sedang memerihkan apa. Mungkin kau berdiri di antara bilik rasa percaya dan ruang keras kepala. Kau bingung mesti memilih yang mana.
Bilik itu sempit dan membuatmu berhadapan dengan klaustropbia. Sedangkan ruangan itu menawarkan sejenis terapi bagaimana cara terbaik untuk amnesia.
Dan, tidak seperti yang kau duga, dokter mengatakan kau tidak baik-baik saja. Katanya kau terlalu lama tenggelam dalam pencarian tanpa rencana. Terhadap peristiwa dan kejadian yang menurutmu adalah isyarat kehadiran cinta. Dan pada akhirnya kau berkali-kali hanya bisa menemui usia yang makin hari makin menua.
Di ruang tunggu rumah sakit yang bisu, akhirnya kau belajar bagaimana cara menjadi gagu. Sehingga untuk selanjutnya kau tak mudah menyulut pertengkaran. Dengan memorimu yang mengambil sikap bermusuhan. Atas segala kericuhan. Akibat kau terlalu banyak mengambil jarak dari kenyataan.
Bogor, 15 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H