Sudah saatnya. Rumpun bambu di halaman rumah perlu disiangi. Tamu yang saya tunggu sedari permulaan musim hujan hingga kemarau nyaris menepi, belum juga menampakkan diri. Saya mengira ia tak mengenali rumah ini lagi. Rumpun bambu itu sudah terlalu tebal. Menutupi pandangan terhadap papan nama rumah ini; rumah milik sepi, hanya orang-orang yang membawa mimpi diperbolehkan mengunjungi.
Sebagai langkah pertama, saya membersihkan beranda. Banyak debu masa lalu menempel kuat di sepasang kursi dan meja dari kayu. Mungkin seharusnya saya membuatnya dulu dari besi. Sehingga sebagian besar ingatan bisa saya patri dan kunci. Tanpa takut dimakan rayap atau dibawa mati ngengat. Saat panasnya lampu bohlam membakar sayapnya yang datang salah alamat.
Menyiangi rumpun bambu perlu persiapan yang matang. Rumpun dari tanaman ini berbulu halus namun sanggup membuat luka serupa duri kaktus. Oleh karena itu saya tidak menggunakan parang. Saya lebih memilih menyianginya dengan tatapan mata garang. Tatapan mata seperti itu jauh lebih cepat menyudahi ratapan yang merobek-robek waktu luang.
Matahari sudah meninggi. Saatnya bagi saya untuk bekerja. Satu hari untuk membersihkan serasah yang mengganggu, hari selanjutnya tinggal menunggu waktu. Untuk melahirkan kenangan demi kenangan yang mengharu biru. Dari rumpun bambu yang tak lagi menyayatkan sembilu masa lalu.
Besok atau lusa. Saya akan mengajak orang-orang yang patah hatinya. Menimba ilmu dari rumpun bambu. Bahwa tak selamanya masa lalu itu, mudah dikoyak-koyak oleh waktu.
Asal jangan lupa disiangi secara hikmat. Karena rumpun bambu yang tak terawat, adalah simbol dari masa lalu yang tersirat. Gampang sekali membuat hati tersayat-sayat.
Bogor, 15 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H