Saya berusaha sekerasnya tidak memprotes apapun. Udara panas, lembab, uring-uringan tanpa sebab, hingga matahari yang sebelum waktunya telah jatuh terjerembab. Di sisi hutan yang tak lagi berkanopi. Hanya tersisa pucuk menara dan tiang listrik tegangan tinggi.
Saya menutup mulut rapat-rapat. Menghindarkan diri dari racauan keparat yang bisa-bisa membuat hati saya semakin mampat. Saya memilih untuk menempatkan banyak arca di ruang benak. Sehingga tak perlu menghujat habis-habisan menggunakan lidah yang beronak.
Senja di pinggang Leuser cepat sekali menghilang. Seolah melarikan diri dari kejaran malam. Cahaya kemerahan yang biasanya membiaskan rona pipi seorang dara, hanyut oleh ketergesaan kegelapan yang sedang memburu tanda mata. Dari rembulan yang sedang jatuh cinta, patah hati, lalu mengadu pada gerhana.
Saya berusaha keras menerjemahkan setiap suara binatang malam ke dalam jalinan syair yang mengisyaratkan kekalutan. Terhadap kematian demi kematian yang tak sempat dimakamkan. Dari daftar obituari para penghuni hutan akibat banyak kehilangan mata air dan juga sepan.
Bersamaan dengan langit yang luruh secara tiba-tiba, saya berulangkali menggelengkan kepala. Mencoba menolak sekian jumlah kenyataan, atas runtuhnya hutan rimba. Di mana-mana.
Saya lalu membasuh semua ingatan yang tersisa dari betapa perkasanya belantara, ke dalam kebinasaan lupa yang sedalam-dalamnya. Karena bagaimanapun saya ternyata hanya diam saja. Tanpa pernah melakukan apa-apa.
Langkat, 9 Juli 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI