Aku dan kamu, saling memandang dari dua sisi. Hanya dipisahkan spasi.
Kita adalah dua kata yang tak pernah berjauhan. Nyaris bersentuhan. Tapi belum juga paham arti berdekatan.
Spasi itulah yang menciptakan ruang lengang. Di antara aku dan kamu yang sama-sama sedang menuju pulang. Aku ke utara, sementara kau mengarah titik yang sama, lalu berakhir di barat daya.
Kita masing-masing memegangi koma yang meronta-ronta, ingin berakhir di sebuah perhentian. Hanya saja cuaca belum mengijinkan. Hujan, masih saja menggerutu di kejauhan. Sedangkan kemarau, terus saja mengadakan jamuan makan siang.
Dan kita, aku dan kamu, berharap banyak pada datangnya pertemuan.
-----
Spasi itu, bukanlah takdir yang menceraikan waktu. Ia ada sebagai utusan bendahara kata. Sehingga seratan menjadi berharga, dan suratan punya makna yang sesungguhnya.
Kita menuntun kehendak mencari-cari. Di semua tempat sunyi bersembunyi, di semua sunyi yang menjadi tempat persembunyian kisah-kisah patah hati.
Aku lalu menyalakan lampu ruang tamu, dan kamu menjerat cahayanya sebagai sekutu. Agar kita bisa sama-sama membaca temaram. Sebagai keinginan yang tak pernah padam.
Kita masing-masing meronta melepaskan diri dari spasi, memampatkan jarak dan ruang hingga tak terpisahkan. Saling memandang dari satu sisi. Ke arah takdir yang telah berhasil kita lewati.
Jakarta, 6 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H