Di halaman depan Istana Maimun, selarik cahaya terakhir matahari tergelincir. Menerpa undak-undakan menuju beranda, menampilkan kilasan masa saat para putri Melayu masih berdiam di sana. Menari, jatuh hati, lalu menikahi para pangeran yang datang menunggang kuda sembari membawa upeti. Berupa kepingan hati.
Di halaman belakang Deli Serdang, selat Melaka menggantang sekian banyak awan. Menyimpan hujan untuk esok kelak. Ketika pantai mulai retak. Karena dibilas terlalu banyak air asin, yang jelas-jelas menyudahi ingin.
Di pinggiran Kualanamu, angin menyerupai diamnya batu-batu. Terpaku di senja yang padam. Menunggu lampu menyala. Agar kembali bisa menerangi ruang tamu. Menunggu kedatangan rindu.
Di pelataran malam yang kehabisan kunang-kunang, suara yang ada tak lebih ramai dari percakapan yang hilang. Senyap membiarkan dirinya terlelap. Di ujung pembaringan yang manusianya tak henti mengudap. Remah-remah pikiran yang lindap.
Di sela-sela lamunan yang membentuk semacam kerumunan, terjadi sedikit pertengkaran. Baku tentang apa yang harus dibuang, mana yang mesti dijelang. Antara kegagalan harapan yang menyuratkan ketakutan, atau ketakutan akan gagal yang menyurutkan harapan.
Medan, 5 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H