Aku masih mencarimu di kegersangan rimba yang tak lagi dirimbuni pepohonan. Barangkali kau telah menjadi serasah yang di atasnya hanya bisa ditumbuhi serpihan cahaya gerhana. Aku akan memotretnya sebagai bukti kepada majelis pujangga yang membawahi ribuan kata. Kemungkinan kau masih ada. Hanya saja bersembunyi menunggu hingga segala kericuhan mereda dengan sendirinya.
Tapi ternyata serasah itu hanyalah sekumpulan daun kering yang bergelut dengan tanah basah. Dalam sebuah mosaik rupa bumi yang termenung dibekap sepi. Tak ada tanda-tanda kau pernah ada di sini.
Aku lalu mencarimu di tepi pantai tempatmu menyinggahkan majas-majas tak biasa yang sanggup membuat para penyair terlunta-lunta. Ditelikung oleh frasa demi frasa yang kau naikkan ke atas punggung gelombang. Hingga sampai di pesisir tempat para tukik kelak akan menyebut kata pulang. Berulang-ulang.
Dan jejakmu tetap tak bisa ditemukan di antara lidah gelombang yang meludahkan suara-suara kepedihan. Rupanya kau masih bertekad untuk menghilang. Di ceruk paling dalam pada lautan yang enggan mengenang banyak waktu luang. Agar tak terpanggang oleh harapan yang tak tahunya hanya menempati ruang-ruang yang sangat lengang.
Kemudian aku melanjutkan pencarian di rangkaian ngarai tempatmu mengubur kesedihan yang membadai. Melalui luka-luka tak tersembuhkan yang berusaha kau obati dengan menuliskan sebuah bunga rampai.
Jika kesekian kali kau tak bisa kutemukan, aku akan menyerahkan akhir cerita ini pada diterbitkannya hikayat yang tersayat-sayat. Tentang seorang perempuan yang bermufakat mengenai duka mana yang semestinya harus dirawat. Sampai nanti berjumpa dengan titik yang memberi isyarat ini semua telah tamat.
Medan, 3 Juli 2019