Tidak ada satu orangpun yang paham jalannya takdir seperti apa.
Tuhan menulisnya dengan cara diam-diam dan menyimpannya sebagai rahasia. Rahasia yang menyimpan porsi duka dan bahagia di dalamnya. Bergantian datang dan pergi. Seperti neraca yang tak pernah bisa tepat setimbang di kanan dan kiri.
Berurusan dengan dunia yang terlalu banyak warna membutuhkan hitam putih kekuatan hati. Hitam saat menemani malam berbincang tentang ruang-ruang pekat yang seringkali membuat orang tersesat. Juga ketika berhadapan dengan lembaran kertas putih untuk menuliskan rencana demi rencana kepulangan agar tak terlambat.
Tidak ada satu orangpun yang mengerti sampai di titik mana mesti menghindar dari sunyi.
Waktu menulisnya dengan begitu berhati-hati lalu meletakkannya di beberapa cawan sebagai pilihan. Cawan yang akan ditenggak habis-habisan atau disisakan untuk kelak jika kembali kehausan. Cawan yang di dalamnya tercampur ramuan berbagai bentuk keinginan.
Tidak ada satu orangpun yang tahu apa arti luka sebelum betisnya berdarah dan bernanah.
Sayatan-sayatan masa lalu lebih mampu membuat luka dibandingkan keping-keping harapan yang tak lagi bersisa. Belati masa lalu menghunjam sempurna, seperti cermin yang memantulkan bayangan apa adanya. Sedangkan harapan yang tak berupa, hanyalah wujud dari kehendak yang mati sebelum waktunya.
Jakarta, 28 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H