Aku membagi malam menjadi dua. Untukmu, malam yang baik-baik saja. Untukku, separuh sisanya yang durjana.
----
Saat kegelapan bukan menjadi satu-satunya cara untuk menyampaikan pesan bahwa ini adalah masa tiada matahari, semua tatanan dibuat sedemikian sepi, seolah desir hidup hanya diperlihatkan oleh nyala pelita yang redup, namun masih ada harapan akan tibanya rembulan, juga asa akan kehadiran bintang-bintang, maka itu adalah malam yang baik-baik saja.
Duduklah di tepian sungai yang mengalirkan musik sunda. Jadilah gembala bagi hatimu yang barangkali sedang bersavana.
Aku akan menemanimu dari sini dengan sisa-sisa doa bahagia yang mampu aku ucapkan dengan tak terbata-bata.
----
Ketika kegelapan adalah raja diraja tiran bagi sebuah kerajaan yang mengintai dengan penuh ancaman, dari wajahnya yang tak kelihatan terdengar gumam-gumam pendek nan seram, mengisyaratkan kedatangan dusta yang menumbuk hati menjadi keping-keping durjana, sementara bulan hanyalah bulatan sederhana yang teraniaya, dan kumpulan bintang tak lebih dari tumpahan noda di wajah langit yang bermuram-durja, maka itu adalah malam yang berencana untuk moksa. Menghilang begitu saja. Dari hadapan benak yang berharap begitu banyak. Akan kebenaran dari tutur almanak.
Tidurlah di pembaringan yang telah kau balur dengan doa-doa sempurna yang diturunkan sungguh-sungguh oleh para malaikat yang berjaga. Itu bukan malammu. Lalui saja dan anggap semuanya adalah segmen waktu yang gagu.
Aku akan tetap di sini menjagamu dari helaan sunyi yang mungkin saja datang dengan tiba-tiba. Berniat menyusup ke dalam hatimu sebagai mata-mata. Menunggu kesempatan menciptakan adegan spionase bagi kolase kata-kata yang hanya tahu bagaimana mengartikan duka.
----
Jakarta, 27 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H