Mata saya sampai terbayang-bayang penggaris dan meteran saat membaca kasak kusuk di sosial media. Saya tidak tahu mesti tertawa terkikik-kikik atau menangis menggerung-gerung mendengar ilustrasi berikut ini;
"Anakku pinter tapi mau ndak mau sekolah bau pesing deket rumah. Jarak rumah ke sekolah kaporit ndak kurang dari 3 ribu meteran," Paklik Sotil mengeluh panjang pendek tak karuan menggunakan kosakata yang jauh lagi lebih berantakan.
Bik Markonah nyambung dengan logatnya yang patah-patah saat bertemu konsonan mati," Abeh abeh iya itu rek! Ponaanku yang otaknya nyangkut di dengkul malah dapat SMA 1 yang selama ini isinya nak-kanak puinter!"
Ironis! Tapi terus terang saja ide zonasi ini berangkat dari keinginan yang idealis.
Selama ini anak-anak pintar dikolonisasi dalam satu komplek sekolah yang keren dan punya fasilitas wuih. Tentu saja anak yang sebelumnya pintar di sekolah level sebelumnya banyak yang menjadi medioker dan bahkan tukang ngiler karena persaingan yang bener-bener killer.
Sedangkan di sekolah lainnya yang kata Paklik Sotil bau pesing, berkumpullah anak-anak yang nyaris semuanya berotak nyangkut di dengkul seperti kata Bik Markonah. Alhasil, mutu sekolah tersebut sulit sekali diangkat meskipun rambut kepala sekolahnya sampek njengat.
Nah! Pemerintah melalui Menteri Pendidikan rupanya gerah dengan situasi yang dari dulu gitu-gitu aja. Tanpa ba bi bu lagi, Menteri yang pemberani ini langsung saja menerapkan kebijakan zonasi. Tentu saja Pak Menteri sama sekali tidak menyangka jika kebijakannya ternyata menimbulkan bukan lagi kontroversi, tapi lebih menjurus pada kontra revolusi.
Wah, wah! Begitu gawatkah reaksi yang terjadi? Iya! He'egh memang!
Coba perhatikan hilir mudiknya kabar, informasi, sampai percik-percik distorsi yang beredar di media sosial maupun media televisi. Luar biasa! Mayoritas mengeluhkan sistem zonasi yang katanya meng-alienisasi, belum waktunya, terlalu dini, dan kelewat berani.
Saya pribadi melihat semua ini sebagai sebuah proses revolusi yang memang harus diambil. Kapan lagi coba? Menunggu sampai kualitas semua sekolah merata? Semua punya laboratorium bahasa? Semua memiliki fasilitas asrama?
Ndak juga! Kita sama-sama tahu bahwa negeri ini terus menggeliat di sana-sini. alokasi dana pendidikan yang cukup besar di APBN pun belum bisa menyulap semua sekolah punya fasilitas pendidikan yang memadai dan membuat para orang tua terkesima.