Di saat lidah penyair meraut kata-kata seruncing tombak suku Masaai dalam berburu singa, berhamburan angin barat yang menyampaikan betapa tumpulnya ujung tombak itu dan tak akan pernah membuat kulit singa terluka. Suku Masaai bukannya kembali kepada pandai besi, tapi mereka memilih menghunjamkan tombaknya ke leher Kalahari. Singa-singa lantas mati.
Ketika ludah penyair menyipratkan puisi-puisi cinta, rindu dan senja ke tanah-tanah yang masih basah sehabis hujan di negeri yang lahir dari rahim matahari, aroma kopi dan penggalan mimpi juga menguar dari nafasnya yang tersengal-sengal menahan duka hati. Kenapa ada kasta dalam kata-kata yang semestinya telah merdeka semenjak dahulu kala? Apakah menjadi perkara jika semua lantas jatuh cinta, terbelenggu rindu, lalu nyaris setiap waktu memuja senja sebagai fragmen masa yang sungguh bisa mewakili segala rahasia dari romansa?
Sewaktu mulut penyair mengeja rembulan, langit dan pagi sebagai ruh dari puisi-puisi atas nama sunyinya patah hati, bukan berarti mereka sedang putus asa dan membunuh banyak kosakata dalam perjalanan bunuh dirinya. Itu semua adalah pilihan. Tidak untuk diperbincangkan sebagai salah satu bentuk kekacauan.
Biarkan para penyair membebaskan diri mereka dengan berfrasa apa saja. Bahkan Rumi, Gibran dan Emha, menjadikan cinta, rindu dan senja sebagai kudapan sarapan pagi mereka.
Jangan sampai sajak dan puisi menggelapkan tubuhnya dengan berjalan di lorong-lorong sempit yang sengaja diciptakan untuk menghimpit. Lantas memahkotai kepalanya dengan sebutan karya sastra yang sakit.
Dunia sastra adalah semesta yang tidak punya rencana.
Bukan labirin yang mengurung para penyair dalam kebingungan memilih kata, tanda baca, atau gaya bahasa.
Jakarta, 16 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H