Pada kedalaman makna yang kehilangan kata-katanya, aku mengeja vokal mati dan konsonan tanpa bunyi melalui nyanyian sunyi. Diiringi derak ranting patah menyerupai perkusi ditiup angin yang sedang patah hati.
Semuanya lantas tenggelam dalam diam. Hanya terdengar gumam lirih dari bisikan-bisikan malam.
Pada riuh rendah tanda baca yang mewarnai perjalanan kalimat-kalimat agar bisa menemui artinya, aku menjejalkan pengetahuan tentang terbunuhnya sunyi namun tak jua mati-mati. Sungguh digdaya. Seolah punya ajian pancasona. Pada alkisah para antagonis yang mempunyai kekuatan magis. Hanya tanah dan gerimis yang sanggup memisahkan jiwanya secara liris.
Segalanya lalu berjumpalitan dari tatanan. Menciptakan golongan demi golongan. Sesembahan dan yang dipersembahkan.
Pada keraguan yang timbul akibat keyakinan yang dipancung oleh lajunya zaman, aku jelas tak mau tunduk pada peradaban yang membelah-belah keniscayaan. Lebih baik aku diam tapi percaya, daripada aku gaduh tapi sebenarnya lupa.
Aku memilih menjadi cecunguk yang tidak mengiyakan, daripada menjadi burung pungguk yang mengangguk-angguk pasrah pada rembulan.
Jakarta, 13 Juni 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI