Di sebuah beranda tempat kita sering duduk bercengkerama menguliti senja, menerjemahkan airmata, dan memilah seberapa banyak telah menyesap ampas robusta dan arabika, tertinggal jejak-jejak perbincangan yang tak pernah direkam namun tertanam dalam di ceruk pikiran. Itu bukan dikategorikan kenangan, tapi termasuk dalam pasal-pasal yang tercatat pada berbuku-buku ingatan.
Kita menguliti senja untuk tahu berapa bagian malam kita sanggup melaluinya dengan mata terpejam. Tidak lagi terperangkap dalam lamunan sebagai pendahuluan. Tidak juga terjebak pada khayalan sebagai satu bab rujukan. Sebelum akhirnya kita tertidur dan memperdengarkan irama dengkur dalam sebuah pertunjukan orkestra yang jujur.
Aku menerjemahkan arti airmata dalam syair-syair tak bermata. Tentu ini aku persembahkan untukmu yang masih melihat airmata sebagai pertanda akan duka yang sebagian besarnya adalah produk ngayawara. Hasil dari plagiasi mimpi-mimpi paling sunyi yang telah lebih dulu dituliskan oleh para pujangga patah hati. Meski tanpa alasan sama sekali.
Kau menghitung berapa banyak perbincangan yang telah kita lakukan sambil menikmati liukan asap tipis kopi bercawan-cawan. Kau sebutkan sebuah angka yang bahkan kita sendiri tak pernah menyangka, ternyata kita banyak kehilangan percakapan karena lebih menyukai cara-cara mendengarkan.
Pada saatnya nanti tentu kita menyadari bahwa separuh hidup yang kita lewati nyaris seluruhnya ada di beranda. Di antara kursi-kursi tua dan sebuah meja yang permukaannya mengkilap karena sering ditumpahi sisa-sisa cerita.
Sampai kelak ini semua menjadi semacam hikayat cinta. Bukan lagi sebuah saga dari ingatan yang saling berlaga. Atas nama fatamorgana yang mengada-ada.
Jakarta, 1 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H