udara dingin sedang memasuki atmosfer rendah
di mana segala hal tabu tumpah ruah
dari gerutuan akan tanah yang lembek dan basah
juga umpatan atas cuaca yang membuat resah
tak perlu menunggu isyarat dari Tuhan siapa yang bersalah
tinggal menggali hati apakah memang benar diri ini adalah perasuah
dalam menerjemahkan klausa-klausa dalam traktat
lantas menjadi si keparat yang begitu saja meninggalkan hakikat
jangan dikira bait-bait puisi hanya sekedar untuk beromantika
dengan senja, kopi, atau airmata
atau merundung rasa murung, kisah tak beruntung, serta runtuhnya gunung-gunung
atau meradang terhadap rasa berang, sesuatu yang hilang, dan juga keinginan pulang
tak terhitung pula seberapa banyak syair yang berusaha keras mengingat Tuhannya
dalam tarikan nafas kata demi kata yang melafalkan dzikir dan doa
agar peperangan dimusiumkan, kelaparan diprasastikan, serta genosida dipunahkan
juga supaya rasa jeri terhadap mimpi dihilangkan, rasa nyeri pada luka disembuhkan, dan rasa sunyi di hati kembali diramaikan oleh gemuruh kebaikan
Jakarta, 31 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H