Tidak ada alasan yang sangat penting kenapa saya selalu memikirkan kamu setiap waktu. Mungkin karena tidak ada hal lain yang bisa saya pikirkan. Pekerjaan? Terasa begitu melelahkan. Pikiran saya lama terikat di kaki-kaki meja. Sedangkan ingatan, terakit pada warna khaki kemeja yang kamu kenakan saat senja menjamu kita secara sederhana di sebuah kedai kopi tua.
Saat itu kamu berkisah tentang rembulan basah. Kataku mungkin kehujanan. Katamu bukan, rembulan itu sedang menangiskan kerinduan. Terhadap almanak agar memberinya kesempatan. Bertiwikrama menjadi purnama. Seperti yang selalu dijanjikan pada hikayat lama. Tentang semesta dan segala atributnya.
Setelah berbincang lama dengan sedikit saja kata-kata, saya pamit dan mengatakan harus kembali bekerja. Ada kaki-kaki meja menunggu saya. Kamu mengiyakan sembari ikut berlalu. Kaki-kaki meja rupanya membuatmu jemu.
Pertemuan selanjutnya kita tentukan di bawah cahaya purnama. Saya ingin membuktikan apakah rembulan yang dulu menangis telah berbahagia. Kamu nyaris benar, rembulan sangat berpendar-pendar, tapi saya melihat ada di sana siratan nanar.
Kamu bilang itu karena saya memandanginya dengan jiwa yang samar, seharusnya saya belajar cara yang benar bagaimana melihat kebenaran. Bukan membenarkan apa yang ada dalam pikiran. Itu namanya memoar. Sebuah memori yang menguar lalu memudar.
Saya terdiam. Percakapan ini membuat saya kehilangan gumam.
Bersamaan dengan rembulan yang ikut-ikutan padam.
Jakarta, 30 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H