Merindukanmu adalah perihal biasa. Itu bisa saya lakukan nyaris setiap hari ketika mata ini masih terbuka.
Menuliskan namamu pada larik-larik puisi yang berjatuhan seperti ngengat ditelan cahaya itu tidak istimewa. Saya melakukannya hampir tanpa jeda ketika benak ini masih dipenuhi bahasa yang memilih untuk berhuru-hara.
Menyebutkan namamu di hadapan senja sambil memetik malam yang beterbangan seperti serangga, kerapkali saya lakukan sembari menyaksikan hujan berdansa di pelataran bersama sirip-sirip daun cemara.
Mengigaukan dirimu di tengah-tengah mimpi yang berkejaran dengan pagi, tidak jarang terjadi. Apalagi ketika saya memulai tidur dengan doa-doa pembersih hati yang bersemak duri.
Bersama sajak dan puisi yang dilahirkan dari rahim-rahim kekosongan, saya mengikat tali kerahiman. Terhadap kerinduan yang memecahkan gendang telinga, merebahkan kornea mata, dan menusuk kekosongan dalam jiwa.
Bersama buku-buku yang belum selesai dibaca karena kisahnya yang tak kunjung usai, saya mencegat lalunya badai. Hilir-mudik di hiruk-pikuk hati yang kusut masai. Seperti benang-benang yang digunakan untuk menyulam kenangan kala musim hujan dan kemarau saling bertikai.
Bila kerinduan ternyata salah satu upaya untuk merawat ingatan, kenapa harus mempertanyakan makna lupa jika kita memang memutuskan untuk tidak amnesia?
Bogor, 26 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H