Hidup ternyata serangkaian kejadian yang tak bisa dikendalikan. Berputar seperti roda pedati yang kehilangan saisnya. Melindas batu-batu. Untuk kemudian terjebak di kubangan tak menentu. Pada akhirnya terperangkap di jalan buntu, atau hanya sekedar kehilangan ladam sepatu.
Mati ternyata lebih pasti. Setelah resmi berhenti menjadi hakim, jaksa dan pegawai negara, semua beralih profesi menjadi pengacara. Membela dirinya sendiri. Di hadapan Malaikat yang berdiri memegang cemeti.
Hidup memiliki bermacam warna. Diaduk dalam kesempatan lalu dijatuhi sekian banyak prasangka. Sedangkan mati adalah hitam dan putih. Pilihannya hanya perih yang merintih-rintih. Atau meniti jembatan tertatih-tatih.
Hidup dan mati hanyalah soal nyanyian. Seperti malam yang sangat kesepian menunggu kedatangan hujan. Begitu yang ditunggu tiba dan kemudian reda, maka berakhirlah segera masa jeda.
Dari tiada menjadi ada. Dari ada lantas mengada-ngada. Dari yang mengada-ada pada akhirnya tetap saja tiada.
Bogor, 19 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H