Pada sebuah senja yang terlupa menjatuhkan peringatan akan datangnya sandyakala, seorang wanita menghitung berapa banyak cahaya yang berjatuhan di tubuh anggrek-anggreknya.
Bersama butiran air satu tempayan yang tadi dimintanya dari hujan, wanita itu menanam harapan di peron rumahnya yang dianggapnya sebagai stasiun pemberangkatan. Tiket perjalanan begitu mahal. Gagal, adalah kata pertama yang mesti dijagal.
Wanita yang menyulam angan-angannya di kaki langit yang muram, menjadi bidan atas kelahiran anggrek bulan. Juga menjadi ibu bagi anggrek kupu-kupu. Seiring dengan waktu yang terus menerus dipanaskannya dalam tungku.
Liana-liana bermahkota putri raja itu adalah instrumen bahagia baginya. Menyanyi tanpa sedikitpun suara, namun bisa dengan segera menjadi lantaran atas gugurnya hati yang keranta-ranta. Berdendang lirih bersama angin yang merintih-rintih, di antara duka yang berdentang-dentang pedih.
Atas nama cahaya yang dicarinya, anggrek bulan yang ditanamnya ternyata adalah purnama. Mekar di puncak malam tanpa pendakian. Samar-samar tapi cukup baginya untuk menerangi pencarian.
Wanita itu mengelus hatinya yang diairi sungai-sungai bahagia. Anggrek bulan di hadapannya, bersanding tanpa cela dengan purnama di langit yang sungguh-sungguh sempurna.
Bogor, 19 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H