Kita sebenarnya berada di bawah langit yang satu. Hanya saja aku lebih menyukai biru sementara kau tergila-gila pada kelabu.
Biru bagiku adalah kedalaman tanpa batas. Seperti aku yang selalu menenggelamkan diri dalam kekebasan aras. Sedangkan kelabu adalah warna tak tentu yang di baliknya selalu menyembunyikan sesuatu. Sebuah rahasia. Atau setidaknya barisan kata-kata yang tak mau bicara.
Di hadapan malam yang semakin menua, aku mencoba memintal perjalanan usia. Ke dalam bacaan sejarah. Di titik mana kesalahanku tumpah ruah, dan di detik apa kebenaran hanya serupa benang basah.
Sementara kau berusaha menghilangkan hitungan almanak tempatmu dulu meninggalkan jejak. Ke sebuah diari yang berkali-kali kau tuliskan sebagai ziarah sunyi. Kau sepertinya sengaja hendak melakukan genosida. Terhadap bangsa kenangan yang menurutmu nyaris semua bertuba.
Kita memang menyimpan harapan yang gigih di ranah cita-cita yang di dalamnya terdapat rasa pedih. Hanya saja kau memilih untuk berdalih, sedangkan aku lebih suka berdalih agar tidak memilih.
Jadi bagaimana?
Kita teruskan bersengketa di malam yang buta, atau sebaiknya kita membuta saja sampai pagi tiba?
Dan besok kita kembali bersua dalam percakapan yang sama tentang kita yang begitu berbeda.
Bogor, 18 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H