Pucuk sepi yang berduri mengusik malam yang sedang merayu dinihari. Bagaimana cara agar ribuan mimpi yang terlempar keluar pembaringan tidak senasib dengan sandal jepit yang terputus lalu diberi peniti.
Banyak mimpi yang terlepas dari jahitannya memonumenkan rasa kehilangan. Sedikit sekali yang sanggup menyelesaikan episode malam tanpa harus menyesap habis kopi sachetan.
Khayalan demi khayalan beterbangan bersaing dengan koloni kunang-kunang. Membentuk sekian banyak hologram yang dianggap sebagai prototype kenyataan.
Tidak ada tempat yang tepat bagi dugaan bahwa kali ini hujan akan membawa kegembiraan. Bisa jadi suara gemericiknya nanti adalah lolong ratapan. Merasakan betapa keringnya tanah-tanah yang terbelah setelah menguburkan harapan.
Di hadapan cemara yang sirip daunnya mengangguk terbata-bata, luruhlah bunga-bunga kamboja. Menyergap aroma malam ke dalam wangi yang tak kentara. Menyebarkannya dari pintu ke pintu, jendela ke jendela, dan beranda yang dilupakan majikannya.
Malam dan sepi saling beriringan dalam perayaan waktu senggang. Waktu yang dibutuhkan banyak orang memikirkan cara terbaik untuk pulang. Menuju keinginan yang sebagian besarnya telah lampau. Diiris oleh peristiwa-peristiwa masa silam yang setajam mata pisau.
Bogor, 18 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H