Pada suatu segmen peristiwa ketika langit menumpahkan sukacita dengan cara mengecat malam sehitam-hitamnya saat perayaan purnama, rembulan yang dulunya pucat pias kini beraut muka sedikit beringas.
Tujuannya hanya satu saja. memberikan tumpangan mata bagi seorang wanita yang kehilangan lampu baca di mejanya setelah remuk redam dipanggang usia.
Wanita yang begitu menyukai buku-buku itu membuang pandangan ke langit penuh rasa terimakasih. Kini dia bisa kembali membaca sajak-sajak renta dari para pujangga yang menggadai jiwanya demi merangkai kata demi kata yang diberinya ruh dan nyawa.
Dia juga bisa kembali merenungi puisi-puisi yang dituliskan para penyair patah hati setelah ditolak cintanya oleh para kekasih yang lebih memilih senja untuk menempati pelaminan di sampingnya. Wanita itu sekarang memahami kenapa dunia seringkali memalingkan muka apabila ada seorang lelaki yang memutuskan harakiri daripada menjahit koyakan hati dengan rapi.
Wanita itu membiarkan matanya terus mengeja tanda baca dengan diterangi temaram cahaya rembulan. Sampai akhirnya terseret tanpa sadar ke batas-batas alam bawah sadar. Mendengkurkan alur cerita yang kebanyakan samar. Mengigaukan kalimat-kalimat bahagia untuk menggantikan buku-buku yang sebagian besarnya berduka karena akhir kisah yang bernestapa.
Jakarta, 15 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H