Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[EMPSK] Serial Perempuan Hujan

16 Mei 2019   00:02 Diperbarui: 16 Mei 2019   00:15 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1)
Ini serial perempuan yang menunda keinginannya untuk berdansa dengan hujan hanya karena seorang lelaki lebih dahulu mengetuk pintu dan membawakannya secawan minuman. Manakala kerongkongannya sekering sahara, hatinya justru butuh sekeping cinta. Berikut dekapan hangat doa-doa yang menyertainya.

2)
Perempuan itu telah lama jatuh cinta kepada hujan. Semenjak dulu saat dilahirkan di tengah malam ketika musim sedang berdandan agar bisa menerima ajakan rembulan untuk berkasih-kasihan. Lalu dibesarkan oleh gerimis yang nyaris setiap hari menidurkannya dengan kidung-kidung liris. Kemudian dewasa bersama kedua cuaca namun yang mengajarkannya lebih banyak cinta adalah rintik hujan yang beromansa.

3)
Dalam hidupnya yang bergelombang, perempuan itu selalu berpegang pada petuah yang diamanahkan hujan. Jangan pernah menyerah hanya karena kulitmu digores oleh duri tajam masa silam. Seorang perempuan yang dari kerlingnya sanggup menjatuhkan elang, adalah seseorang yang tak patah arang hanya karena hatinya disayat-sayat lelaki jalang.

4)
Perempuan itu menganggukkan kepala pada angin yang berkabar kepadanya tentang sisa-sisa usia di depan sana. Katanya selama ia tetap mencintai hujan, tak ada satu kemaraupun yang bisa mengeringkan airmatanya. Bukan untuk apa-apa. Hanya untuk persiapan menangisi hujan ketika bumi dan langit saling menghunjam.

5)
Perempuan itu menghela nafas lega di antara arak-arakan awan yang memutuskan untuk berpawai di malam yang ditumbuhi hutan ilalang. Kekasihnya akan datang. Sudah waktunya menjerang keinginan. Untuk disuguhkan nanti saat saling berbincang. Membicarakan jejak-jejak perjalanan yang telah dilakukan. Saat berburu kerinduan.

Jakarta, 15 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun