Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Sepetik Mimpi untuk Seribu Puisi

15 Mei 2019   00:32 Diperbarui: 15 Mei 2019   01:00 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiba-tiba saja, kau ingin aku membuatkanmu puisi. Tepat saat aku sedang berusaha menjerang diksi di panas matahari, menapisnya di serambi, agar bisa aku satukan dalam pelaminan dengan aroma melati.

Aku juga berusaha menjaring romantika di setiap tetesan hujan yang terhambur di pelataran, aku rasa banyak kata-kata yang penasaran untuk dituliskan daripada harus terbuang di pelimbahan.

Tunggulah beberapa jenak. Aku sedang menyingkirkan deretan onak di benak. Agar rangkaian kata tidak seperti rantai sepeda. Putus satu anak mata, maka perjalanan akan tertunda.

Puisi ini nanti tak perlu kau baca. Perhatikan saja rima yang menyawainya. Apakah berawalan sa yang berarti saya, atau berakhiran ta yang mengumumkan kata cinta.

Puisi ini jangan kau pigura. Letakkan saja di bawah bayangan lentera. Supaya kau bisa menyaksikan huruf-hurufnya menoktahi titik sebagai tanda baca. Bukan koma yang akan menjeda makna tamat itu seperti apa.

Kalau kau menginginkan seribu puisi lagi. Beri aku sepetik mimpi. Bersama bunga-bunga senyuman dari bibirmu yang berkurma, juga nektar dari kerlingan matamu yang bermaskara purnama.

Jakarta, 14 Mei 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun