Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Gubahan Nasib yang Tergelincir

14 Mei 2019   03:58 Diperbarui: 14 Mei 2019   04:05 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungguh payah jika kau pikir bersengketa dengan waktu adalah terjemahan sesuai naskah. Kaki langit saja bisa patah karena terlalu berat digelayuti awan rendah, apalagi jika cuma pahatan perangkat daging dan tulang yang terdiri dari urat syaraf dan syahwat yang begitu lemah.

Berkacalah! Berdiri di hadapan cermin yang kacanya belah. Kau akan melihat unsur-unsur tak simetri dari sekian banyak memori yang pastinya nyaris mati. Kau membunuhnya secara tak sengaja. Setiap harinya. Dengan cara merawat dan membesarkan asa.

Jangan merasa bersalah karena pernah menyumpahi nasib yang bertamu ke rumahmu sambil berjualan paku dan sembilu. Sudah menjadi amanatnya untuk mencederaimu. Setelah dulu kau mengiris waktu dengan pikiran pandir, mengumpankannya kepada takdir, lantas kau sebut sebagai gubahan nasib yang tergelincir.

Beberapa hal sisa yang mesti kau percaya sekarang adalah; ucapan penuh cinta dari gelombang kepada lautan yang memberinya kesempatan untuk pulang. Di pesisir di mana dulu ia lahir. Dibidani oleh angin yang meniupkan desir;

Tatapan penuh cinta dari sepasang mata milik elang kepada udara yang menuntunnya membangun sarang di tebing-tebing tinggi tempatnya berumah tinggal bersama kekasihnya. Hingga kelak irisan badai mengharuskan mereka berdansa dengan pupusnya usia.

Gumaman penuh cinta dari musik kepada not-not balok yang memberinya tumpangan bagaimana menyampaikan nada. Terhadap kemesraan maupun penderitaan dalam syair-syair yang bahagia.

Semuanya mengenai cinta.

Sudah seharusnya kau mempercayainya.

Jakarta, 14 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun