Saya sungguh memahami kamu persis saya paham kenapa saya selalu gagal mengikat tali sepatu. Sementara pada saat yang sama saya harus segera mengejar rindu sebelum kembali direbut oleh masa lalu.
Sejujurnya saya berharap ini bukan lomba. Bayangkan, semasa saya masih mencoba menuliskan beberapa frasa tentang kenangan yang beromansa, secepat itu pula masa lalu berganti muka. Menjadi nostalgia yang hanya mampu bertahan tak lebih dari beberapa jeda.
Saya sampai harus berulangkali menggelengkan kepala nyaris gila. Itu semua seperti iklan saja.
Saya mencoba mengajarimu bagaimana cara meredam amuk di kepala saat kilasan kenangan buruk menguasaimu secara teruk. Saya menyarankan agar jangan tidur dengan muka menghadap langit-langit kamar. Di sanalah tempat paling sempurna bagi masa lalu menampilkan layar.
Kamu terlalu banyak membantah dengan mengatakan bahwa kenangan yang berantakan tak ada hubungannya dengan masa lalu yang berkelindan. Katamu juga, kenangan hampir selalu berupa serpihan, bukan potongan utuh yang layak ditayangkan. Jadi untuk apa dipikirkan.
Saya pikir kamu ada benarnya. Tapi tetap saja bagi saya itu adalah kenyataan yang tak bisa diputar ulang dengan skenario editan. Walaupun memakai jasa penulis naskah dan sutradara paling kawakan.
Sudah lewat tengah malam saya rasa. Berbaring sajalah menghadap dinding, pintu atau jendela. Saya yakin kamu bisa menggiring masa lalu dalam penjara, ketimbang harus selalu membuka kembali koyakan-koyakan kenangan yang tak sanggup kamu terima.
Bukankah itu yang kamu inginkan?
Atau jangan-jangan saya saja yang terlalu tekun memunguti recehan?
Sangat berlebihan.
Jakarta, 14 Mei 2019