Aku rindu! Begitu teriakmu sekeras batu di keheningan malam yang meruamkan banyak sekali jejak-jejak ngilu dari hati yang patah lalu perlahan-lahan membeku.
Aku berniat menyahutimu dengan teriakan yang sama. Namun tenggorokanku disumbat oleh hujan yang enggan reda. Suaraku tersangkut di pucuk cemara yang sirip daunnya mencengkeram sekuat dendam. Usang namun belum terbalaskan.
Aku adalah nyala api yang disulut dari magma tak pernah mati! Teriakmu lagi sembari melemparkan sekeping bara dari matamu yang diselimuti warna sunyi.
Aku hendak menjawabmu dengan kalimat yang serupa. Tapi pita suaraku habis tertelan hujan yang masih juga belum paripurna. Aku hanya bisa menatap bayanganmu dari balik jendela kaca yang mengembun. Sementara di sana, sepasang matamu mengembunkan pecahan kaca yang terus menerus turun.
Sudahlah, mungkin begini saja. Kita sebaiknya menua bersama. Menyaksikan rindu dipanasi api yang disulut oleh tungku yang tak pernah padam. Kita nyalakan menggunakan kayu-kayu gelam. Sembari juga kita menata rumah sebaik-baiknya. Berkebun bunga-bunga cinta yang mekar tanpa perlu lagi berhitung usia.
Karena tak ada satupun sempoa yang mampu menghitungnya.
Bogor, 11 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H