Kekacauan visual yang nampak ketika burung-burung terbang menghindari pemangsa brutal. Di angkasa yang viral oleh kata-kata binal mengenai perihal-perihal gagal yang disebabkan oleh janji-janji janggal para pengobral paradoksal.
Katanya dunia ini masih begitu luas tak berjeruji. Tanah-tanahnya begitu subur sehingga mudah sekali untuk ditanami janji. Kelak bisa panen melimpah ruah. Kata-kata serapah dari harapan-harapan yang jatuh rebah.
Katanya juga langit selalu menghargai siapa saja yang tahan terhadap rasa sakit. Biru adalah warna terbaik untuk simbol para pejuang hidup yang tabah meski harus bertubi-tubi menelan pil pahit. Dari remah-remah gula yang disampaikan oleh mulut manis tak tercela. Walau kemudian rasa manis itu ternyata mengandung bisa lebih banyak dari liur ular kobra.
Banyak sekali paradoksal yang dijual di pasar, terminal dan layar televisi. Dibungkus dalam kemasan yang sangat menarik hati. Entah itu oleh wanita cantik atau siluet tampan para politisi.
Pabrik paradoksal ada di sebuah tempat terhormat yang seringkali mengadakan rapat. Membicarakan udara yang mampat sehingga harus diurai cepat. Mendiskusikan nasib rakyat yang melarat sehingga harus bersicepat mengangkat advokat.
Membela mereka atas nama keadilan yang dipancung oleh para perundung. Yang bersembunyi di balik keputusan-keputusan yang lebih murung daripada muka mendung.
Kadangkala paradoksal diberikan secara cuma-cuma sebagai kudapan di pagi buta. Untuk membuai para pemirsa yang mudah saja tertipu oleh rencana-rencana yang tak pernah terlaksana.
Jadi ini sebenarnya panggung drama atau kampung besar yang mengajarkan cara terbaik bersandiwara?
Jakarta, 9 Mei 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI