Di bulan Ramadan,
Setetes airpun lebih samudera jika diminumkan kepada anjing yang kehausan. Sekeping kurmapun lebih oase bila didermakan kepada musafir yang bekalnya kehabisan. Setitik gerimispun lebih hujan apabila diberikan kepada seorang duafa yang menyudahi petang dengan lelehan airmata gamang.
Di bulan ketika rasa lapar dijadwalkan untuk menemui takdirnya, sebungkus nasi sangatlah berharga bagi para penyintas yang nahas karena kehilangan periuk setelah habis-habisan diretas oleh hidup yang kebas.
Di bulan ketika rasa haus mengisi separuh hari dengan duri-duri kaktus yang menumbuhi kerongkongan yang biasanya rakus, secawan air sumur sungguh berasa anggur bagi para pengelana yang menghentikan senja di hadapannya untuk meminta suaka.
Di bulan ketika iba menempati puncak stupa rasa, tatapan sabar tanpa prasangka adalah keajaiban terbaru dunia yang merambati pikiran siapa saja yang berniat membebat luka sesama demi rasa peduli yang mengambil alih kekuasaan cinta.
Di bulan Ramadan,
Matahari adalah pendiangan yang tak pernah padam untuk menguji seberapa berapi-api asa orang untuk memperbarui mimpi-mimpi yang telah mati.
Malam adalah pelita yang selalu menyala untuk memberikan tempat terbaik bagi orang yang hendak meninggalkan jejak bagi perjalanan selanjutnya kelak.
Sedangkan dinihari, adalah mercu suar yang tak akan pudar untuk memandu pikiran-pikiran makar menuju sejernih-jernihnya memoar agar kebaikan hati tak terlalu cepat memudar.
Jakarta, 8 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H