Sepasang mata bulan menuruni undak-undakan langit sebelum sampai di sebuah tepian. Tempat anak-anak sungai saling bertemu dengan perdu dan rumpun bambu. Mencumbu musim dengan ragu-ragu. Kemarau akan membakar, sedangkan hujan bisa menenggelamkan semua ke dalam rasa nanar.
Beberapa anak bintang nyaris saja terpeleset di tangga semesta yang masih menggelap menunggu kedatangan purnama. Sekaligus menanti pertanda apa yang dibawa oleh almanak saat Nuzulul Qur'an pada saatnya akan tiba.
Angin mendatangi terminal dan halte yang ramai dikerumuni orang-orang menunggu kedatangan. Menerbangkan helai-helai rambut yang memutih bukan karena usia namun oleh sebab asap dari pantat bus kota yang hitam kusam.
Segerombolan kunang-kunang terseok-seok terbang di antara lampu jalanan dan semak-semak yang berombak diterjang kehendak. Mereka tersesat ke kota yang tak lagi menerima para pengembara yang mau mengadu nasib lantas mengaduh terluka.
Semua kejadian dipersembahkan oleh malam ketika semesta nampak begitu telanjang. Langit yang terang, waktu senggang yang lengang, dan centang perenang yang saling bersulang merayakan pikiran yang bersitegang. Dari orang-orang yang kehilangan kenangan lalu berkeinginan untuk pulang.
Jakarta, 8 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H