Kita kehilangan percakapan bahkan sebelum bersepakat untuk saling mengunci pembicaraan dalam diam. Kau lebih memilih menikmati bulan yang ditenggelamkan awan daripada menyapaku yang sedang menyapu permukaan langit dengan pandangan lebam.
Mungkin kau mengira aku baik-baik saja. Padahal sesungguhnya aku sedang menata debar jantungku karena cemas bulan itu akan cedera. Lalu kau akan merasa kehilangan. Sebab bulan itulah satu-satunya yang masih sanggup mempertahankan aku dan kau dalam satu pertemuan.
Separuh malam membuat kesepakatan untuk mendiamkan hingar-bingar reruntuhan hujan yang tak kunjung reda hanya karena masih banyak orang yang hilir mudik berbuka puasa. Separuhnya lagi mengajariku untuk tidak bersepakat denganmu tentang bagaimana cara terbaik menghindarkan diri dari berairmata.
Kau merasa kita masing-masing telah menjauhkan diri dari rasa sepi dengan menggaduhi hati dalam beberapa pertengkaran yang berapi-api. Aku sendiri merasa semuanya tiada guna jika pada akhirnya hanya akan memberi kita keletihan teramat sangat sampai-sampai kita menyimpulkan bahwa kita baru saja terbangun dari mimpi paling buruk yang pernah terjadi.
Sebuah pertanyaan sederhana di malam semenjana pada sebulan almanak yang begitu sempurna; apakah kau akan tetap menyediakan santapan sahur di meja makan dinihari nanti setelah kita bersama-sama sengaja menumbuhkan duri di hati?
Jika iya, maka kita harus berdamai dengan badai sebelum pusarannya menghancurkan kita di sedalam-dalamnya ngarai.
Jika tidak, maka kita mesti memulai lagi dengan memanggang sepotong roti lapis bertabur gula manis sehingga kita tak semakin jatuh dalam situasi hipotesis yang lebih tragis.
Jakarta, 7 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H