Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Saya Mau Menulis Sampai Tua

1 Mei 2019   20:53 Diperbarui: 1 Mei 2019   21:37 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Janji ini saya ucapkan di depan utusan malam yang menghadirkan pembicaraan antara kita tentang usia yang terus saja memanjati dinding kamar yang dikelupas masa. Saya jelas tidak bercanda. Karena bagi saya kata-kata itu separuh nyawa yang sengaja ditiupkan saat saya masih meringkuk seperti cangkang kerang di rahim ibunda.

Ketika sebagian orang memutuskan untuk menikmati pagi dengan segelas kopi dan melamunkan remah-remah mimpi, saya memilih untuk memunguti embun-embun yang enggan terjatuh untuk saya pintal dalam tenunan khayal mengenai cara praktis untuk bunuh diri.

Ketika kebanyakan orang berteduh dari sengatan matahari yang bersungut-sungut karena sebagian cahayanya tersangkut di awan-awan hitam yang ditumbuhi lumut, saya mencoba menyaring percikan cahayanya yang sampai ke bumi, untuk saya cerna dalam larik-larik puisi yang berkabut.

Ketika petang bergumam berkali-kali tentang kedatangan malam yang gaduh beserta bulir-bulir kegelapan yang runtuh, saya patuh untuk tidak ikut-ikutan rusuh. Saya malah bersimpuh di tengah-tengah guruh yang gaduh, menguliti sajak-sajak yang bersemayam di dalam kepala yang seharian terasa begitu melepuh.

Ketika malam mengendap-endap di halaman belakang tempat saya menyembunyikan sarang kunang-kunang, berniat menyergap kesepian yang berdentang-dentang di benak saya yang rasanya begitu kerontang, saya meneriakinya dengan lantang; saya belum mau pulang! Saya sedang coba menyembuhkan barisan kata-kata yang meradang di pikiran saya yang berlubang-lubang!

Saya mau menulis sampai tua. Sampai langit menjadi bosan dan enggan lagi memberi saya ide cerita. Sampai lautan menyembunyikan semua yang selama ini memberi saya keinginan untuk selalu berbicara tentang gelombang, kecomang, dan ombak yang pecah di hulu mata. Sampai gunung-gunung tinggi menyemburkan halimun pekat sehingga saya tidak lagi bisa melihat rahasia apa yang ada di baliknya.

Saya mau menulis sampai tua. Sampai cinta mengusung jasad saya ke dalam keranda. Menguburkan saya dalam upacara sederhana. Dengan doa-doa agar langit, laut, dan gunung-gunung tetap melahirkan anak-anak cuaca yang tak pernah menua.

Cimanggis, 1 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun