Karena bagimu, hujan adalah kekasih yang bersedia memecah tubuhnya hingga berkeping-keping demi sampai ke tempatmu bertanam hening, ia selalu bersedia mengetuk pintu rumahmu dengan tempiasnya yang pontang-panting.
Kepingan tubuhnya yang telanjang kau sambut dengan keriangan yang entah berapa lama kau bekukan di dinginnya ranjang. Menyepi di sudut pembaringan tempat mimpimu kau kumpulkan dalam bentuk tak utuh dan berlubang-lubang. Karena setiap kali tiba, kau tikam mimpi-mimpi itu dengan tuba. Berupa airmata.
Kau sangat ingin bercinta dengan hujan. Membiarkannya meraba sekujur tubuhmu yang berkali-kali menolak matahari dengan segala kehangatannya, juga pinangan malam dengan segala rahasianya, dan ajakan pagi dengan segala kelembutannya.
Bercinta dengan hujan membuatmu lupa akan kemarau yang mematahkan hatimu berulang-ulang. Pada setiap patahannya tercatat nama-nama yang mengering di dalam ingatan. Terdampar di dasarnya sebagai memori yang rusak. Menunggu hujan menghanyutkannya hingga lantak. Saat ia bercinta denganmu di bawah rindangnya mendung kelabu. Tapi di baliknya telah menunggu langit biru.
Sejak kemarin lusa. Kau tak pernah melepaskan dirimu dari beranda. menawarkan birahi seanggun Chomolungma. Karena bercinta dengan hujan, selalu membawamu ke puncak bahagia.
Bogor, 1 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H