Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dua Belas Kali Mengelilingi Altar Waktu

28 April 2019   17:41 Diperbarui: 28 April 2019   18:04 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasanya aku seperti jam yang berputar. Mengelilingi altar waktu. Memunguti angka satu demi satu. Mempercayainya sebagai pusaran debu. Tak terlihat namun membuat tenggorokan tercekat;

Satu. Tiada yang lebih berkuasa daripada Satu. Hanya Satu-satunya. Pemrakarsa ada dari hal-hal tiada. Meniadakan ada hingga habis tak bersisa.

Dua. Berbicara tentang manusia yang memanusiakan manusia. Menempatkan kemanusiaan dalam derajat yang setara. Tidak membeda-bedakan walaupun itu berbeda. Tidak menggolong-golongkan meskipun itu sama.

Tiga. Menyatukan biji mata dalam memandang gelap itu hitam, menyatukan tatapan saat menyaksikan biru bukan warna milik lautan, namun kepunyaan langit yang tak punya batasan.
Angka ini memberi jeda yang sempurna, saat kelelahan sampai pada puncaknya, dinginnya air yang paripurna mampu membasuh muka-muka yang nyaris hilang ditelan amuk murka.

Empat. Jelata bukan berarti jelaga, bertahta tak bermakna maha kuasa. Rakyat adalah pimpinan tertinggi dari dirinya sendiri. Atas nama anarki yang diharuskan bunuh diri.
Angka ini juga membuat terjaga. Ketika mata yang diperangkap kantuk diseret ke hadapan Penguasa sesungguhnya. Melafalkan nama-namaNya tanpa sedikitpun cela.  

Lima. Merangkai pulau-pulau menjadi satu mata rantai. Untuk bersama mengelola badai demi badai. Duduk bersama di meja sarapan yang sama. Dengan tatakan piring dan gelas yang tak berbeda.

Enam. Duduk melingkar di sekeliling api yang membakar rencana-rencana makar. Menyanyikan lagu-lagu maju tak gentar. Cincin api yang melingkari negeri. Adalah simbol dari kobaran semangat tak pernah mati.
Angka ini mendudukkan muka-muka tunduk setelah tiga kali ruku'. Menghapus himpunan rasa letih seharian. Menjadi kumpulan rasa segar semalaman.

Tujuh. Negeri ini disepuh dari jutaan galon peluh. Bukan tersusun dari kepingan-kepingan keluh. Mengalir utuh dalam satu pembuluh. Menghidupi detak aorta yang tak akan pernah runtuh.
Angka ini mempersiapkan orang-orang ke panggung yang lengang untuk mendapatkan waktu senggang. Menidurkan dirinya atas kerinduan akan Tuhan.

Delapan. Atas nama kerajaan-kerajaan besar yang dulu bermaharaja di sini. Sudah selayaknya negeri ini tidak menjadi negeri panci. Begitu ramai saat ditabuh, tapi runtuh seketika saat orang-orangnya mulai gila bertaruh.

Sembilan. Negeri ini berangka tulang-tulang baja yang memang dipersembahkan oleh orang-orang yang tak berhitung nyawa demi cintanya kepada negara. Jangan disia-siakan hanya karena hendak mendirikan menara-menara kaca yang mudah retak pada akhirnya.

Sepuluh. Tiang-tiang yang mendirikan negeri nyaris saja rubuh. Karena orang-orang berebut menyalakan suluh. Menggiring yang lainnya ke dalam keramba. Menjadi ternak yang kelak akan disembelih pada akhirnya.

Sebelas. Pikiran orang-orang lantas menjadi kebas. Setelah dibius dengan janji-janji berupas. Negeri ini terpelanting ke kanan dan ke kiri. Diseret para penjarah marwah yang sengaja bersembunyi.

Dua belas. Pada puncak sejarah yang kelak dikisahkan. Negeri yang dilahirkan rahim matahari ini akan berjalan paling penghuluan. Mencengkeram peradaban di tangan kanan. Sedangkan tangan kiri menggenggam erat kemuliaan.
Pada angka ini, langit yang berdiri di atas kepala selalu berusaha menitipkan pesan dari sandyakala. Patuhlah terhadap tiga cinta. Jangan tinggalkan mereka hanya karena ingin tahu apa isi neraka.

Rasanya aku seperti jam yang berhenti berputar. Berada di puncak stupa waktu. Memasang kembali angkanya satu demi satu. Meyakininya sebagai almanak yang tegas. Bahwa negeri ini selanjutnya akan lari bergegas. Menjemput zaman dengan tidak bersikap telengas.

Balikpapan, 28 April 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun