Di layar kaca tak lebih dari tiga inchi, aku sedang mengunduh cahaya matahari. Aku berencana membekapnya di dalam kamar. Sehingga ruang ingatanku tak lagi samar. Masa silam yang begitu memar, ternyata mengulang kembali kabar-kabar yang membuatku gemetar.
Di luar, bumi yang lama tersakiti, berusaha sekuat tenaga membebat lukanya yang bertumbuhan duri dan api. Menusuk begitu dalam, membakar hingga hangus hitam.
Dinding-dinding langit terlalu koyak di banyak tempat. Menambahkan rasa sekarat pada bumi yang tak lagi sepenuhnya bulat. Tubuhnya bertambal-tambalan, seperti pengemis yang mengadu peruntungan di kota yang tak mengenal belas kasihan.
Awan dan hujan adalah sepasang kekasih yang kehilangan tempat bercinta. Ceruk dan lubuk hanya lubang kumuh yang disisakan menganga. Menunggu lalat-lalat datang lalu membuat sarang. Beranak-pinakkan keturunan menggantikan elang.
Air dan udara adalah sepasang mempelai yang kehilangan pelaminan. Menempati ruang-ruang membahayakan tanpa bisa mencari tahu di mana letak pengungsian. Semua tempat mengandung racun yang ditinggalkan para penyamun. Pergi tanpa sopan-santun meninggalkan jejak-jejak majnun.
Layar kaca telah dipenuhi banyak cahaya. Saatnya menumbuhkan bunga di setiap sudut yang tersisa. Setidaknya bisa memberi waktu bumi beberapa lama agar dapat menghirup aroma wanginya. Hingga ajal tiba. Saat kematian tak lagi menjadi berita. Karena tajuk halaman depannya terlebih dahulu binasa.
Jakarta, 22 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H