Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tak akan Ada Memori yang Mati Berkali-kali

19 April 2019   11:39 Diperbarui: 19 April 2019   12:02 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

denting piano, kala jemari menari, nada merambat pelan, di kesunyian malam saat datang rintik hujan, bersama setiap bayang, yang pernah terlupakan...

Tidak, bukan saat piano berbunyi, tapi denting kecapi dari degung Cianjur lah yang membangunkan aku dari tidur panjang tanpa mimpi. Kehilangan memori. Hanya dikerumuni gelap yang menetap. Tepat saat hujan meratap-ratap di atas atap.

Aku sempat melupakan pagi, mencerca matahari, lalu meletakkan hari-hari yang kulewati di atas tungku tanpa api. Padahal aku berniat menjerang adrenalin. Menyecapnya ketika hatiku terpilin-pilin. Oleh keputusan cinta yang datang dan pergi tanpa ijin.

****
hati kecil berbisik, untuk kembali padanya, s'ribu kata menggoda, s'ribu sesal di depan mata, seperti menjelma, saat aku tertawa, kala memberimu dosa....

Kembali kepadamu seperti meledakkan kepundan gunung berapi. Gegap gempita tapi membakar. Menggelegar namun mengoyak memoar. Aku menjelma menjadi burung Nazar. Memburu bangkai-bangkai masa silam yang bergeletakan di trotoar, boulevar, pasar-pasar dan janji-janji makar.

Aku menyusun kata-kata dari tumpahan lava. Memberinya tanda baca tanpa koma. Karena koma adalah jeda yang menghancurkan. Tak ubahnya tawar menawar terhadap sebaik-baiknya harga keputusan.

Aku lalu berjual beli dengan masa lalu. Menimbangnya dalam neraca yang gagu. Aku tidak merasa keliru. Karena aku mempercayai sumbu hanya menyala ketika bertemu api. Bukannya saat berhadapan dengan sepi.

****
rasa sesal di dasar hati, diam tak mau pergi, haruskah aku lari dari, kenyataan ini, pernah kumencoba tuk sembunyi, namun senyummu tetap mengikuti....

Aku tidak menyesal karena telah mencumbui memori. Mendekapnya sepenuh hati. Menjaganya dari mati berkali-kali.

Terhadapnya aku menitipkan seulas senyuman, seutas tali anyaman, untuk disimpul menjadi ikatan galangan. Tempat kita kemudian menambatkan sampan.

Setelah sekian lama berputar-putar tanpa cadik di lautan. Setelah sekian waktu mengudar tabik tanpa sempat bersalaman.

Bogor, 19 April 2019

Catatan; Puisi ini terinspirasi dari Yang Terlupakan, salah satu lagu terbaik sang Maestro Iwan Fals

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun