Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Kita dalam Narasi Puisi yang Menua

19 April 2019   08:13 Diperbarui: 19 April 2019   08:26 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah kita sama-sama susah. Terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan. Digilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah. Lelap....

Kita bukan saja pernah. Tapi seringkali memaku gelisah. Di dinding malam yang mendingin dengan cepat. Sebab kita selalu saja terlambat. Menghidupkan tungku, menyalakan lampu, dan menyanyikan lagu-lagu tentang hangat yang tak lagi dirompak oleh waktu.

Kita jatuh dalam lubang-lubang. Di jalanan yang permukaannya berserakan debu dan tulang. Dari kepulan tanah dan jasad-jasad semangat yang menyerah kalah. Terhadap mimpi indah yang ternyata adalah potongan jenazah dari waktu yang angka-angkanya tumpah ruah.

Lelap, adalah cita-cita. Gelap, adalah lorong menujunya. Penat, adalah pundak yang memanggul asa. Tersesat, bisa saja terjadi jika kita kehabisan rasa dan kehilangan nyala pelita.

****
Pernah kita sama-sama rasakan. Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya. Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat masih ingatkah, Kau?
 
Kita menyaksikan dunia mempunyai siang dan malam. Tapi kita lupa mengartikan kata pulang dan memutuskan menjadi jahanam. Mengunyah pagi sebagai kudapan. Lalu memuntahkan petang karena rasanya yang balam.

Antara rasa percaya yang terus saja menjadi duafa. Keyakinan kita mudah sekali dijeda. Oleh apa saja yang berbisik di telinga, apa saja yang melamurkan mata, dan apa-apa yang menyusup ke dalam jiwa sebagai mata-mata.

Ingatan kita lalu ditelikung banyak hal. Kita merasa dipaksa menjadi begundal. Padahal kita sengaja untuk gagal. Dalam menjinakkan masa, membesarkannya dengan doa-doa, dan merawatnya hingga dewasa, untuk kemudian mengawinkannya dengan cita-cita.

****
Cukup lama aku jalan sendiri. Tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa hari ini. Tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku, Sobat

Dalam kisah kita, kau menjadi matahari bagi malamku, purnama bagi siangku, kedua-duanya bagi kesepianku, tapi tidak satupun bagi kericuhanku.

Matamu yang setajam duri rotan. Melukai namun mengingatkan. Bahwa mengembara di kerimbunan rimba belantara, tak akan pernah tak mendapat luka. Mengelana di luasnya lautan, tak akan terhindar dari limpasan gelombang pasang. Mendaki gunung dan menuruni ngarai, tak akan bisa lepas dari sergapan halimun yang membadai.

Dan sampailah kita di sini. Di hari ketika kita saling bertukar sapa dan hati. Di sebuah beranda rumah yang dulunya diramaikan sunyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun