di rumahnya yang rimbun oleh ilalang, memperlihatkan betapa;
sorot matanya lebih malam dari hitam
aura hatinya lebih curam dari ngarai dalam
selarik senyumnya lebih pagi dari janin matahari
sudut mulutnya lebih belati dari puncak rasa sepi
Seorang lelaki, mencabik-cabik hening di beranda
di rumahnya yang ditumbuhi duri kaktus berbahaya, lalu apa yang dilakukannya;
menghitamkan jelaga dari malam yang sengaja dia bakar sendiri
mendaki jurang yang dengan sukarela dia menerjunkan diri
merajam matahari dengan serpihan tajam amarah di hati
menghunus belati dan menikamkannya berulang-ulang pada tubuh sepi
Keduanya lantas saling pandang
dua pasang mata yang sama-sama ingin pulang
ke rumah yang dindingnya dicat meriah oleh warna bianglala
beratapkan anyaman rotan sega, pucuk ara dan jari-jari cemara
mempunyai perapian yang disulut lidah matahari
dilengkapi denting kecapi dan sedikit sentuhan orkestra Vivaldi
Keduanya lantas saling bertukar cenderamata
perempuan itu mengangsurkan hatinya
lelaki itu menyerahkan cintanya
kemudian tanpa diikuti dengan kata-kata
keduanya mulai melangkah pulang
menuju rumah yang halamannya mulai ditumbuhi pokok jerenang
Jakarta, 15 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H