Kota ini akhirnya mengaku kehilangan separuh hujan miliknya. Lenyap di buku-buku para penyair yang mencuri hujan bahkan semenjak belum dilahirkan.
Menjadikannya bab-bab tentang silaturahmi. Menyambung tali antara gemericik kenangan dan titik-titik harapan.
Lalu diturunkan dalam pasal-pasal mengenai pengertian. Bagaimana cara menuliskan sejarah agar kenangan tak terlanjur tumpah ruah. Membuat ruang-ruang pikiran kuyup dan basah.
Kemudian memecahnya menjadi ayat-ayat cinta. Beserta segala romansa yang mendarahinya
Kota ini lantas menjadi perpustakaan terbuka. Dengan gedung-gedung tuanya yang dicat ulang. Menggunakan warna-warna pengetahuan.
Juga artefak-artefak langka yang dipajang di ruang terang. Agar para pengunjung kota ini paham mengenai hujan yang semenjak dahulu telah mendirikan kerajaan yang menguasai kehidupan.
Jadi jika para penyair terus saja mencuri hujan atas nama keromantisan. Mereka juga harus memberi timbal balik secukupnya dengan memberikan judul-judul bernafas kerinduan. Terhadap hujan.
Bogor, 14 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H