Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ketika Para Penyair Mencuri Hujan

14 April 2019   09:32 Diperbarui: 14 April 2019   09:45 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota ini akhirnya mengaku kehilangan separuh hujan miliknya. Lenyap di buku-buku para penyair yang mencuri hujan bahkan semenjak belum dilahirkan.

Menjadikannya bab-bab tentang silaturahmi. Menyambung tali antara gemericik kenangan dan titik-titik harapan.

Lalu diturunkan dalam pasal-pasal mengenai pengertian. Bagaimana cara menuliskan sejarah agar kenangan tak terlanjur tumpah ruah. Membuat ruang-ruang pikiran kuyup dan basah.

Kemudian memecahnya menjadi ayat-ayat cinta. Beserta segala romansa yang mendarahinya

Kota ini lantas menjadi perpustakaan terbuka. Dengan gedung-gedung tuanya yang dicat ulang. Menggunakan warna-warna pengetahuan.

Juga artefak-artefak langka yang dipajang di ruang terang. Agar para pengunjung kota ini paham mengenai hujan yang semenjak dahulu telah mendirikan kerajaan yang menguasai kehidupan.

Jadi jika para penyair terus saja mencuri hujan atas nama keromantisan. Mereka juga harus memberi timbal balik secukupnya dengan memberikan judul-judul bernafas kerinduan. Terhadap hujan.

Bogor, 14 April 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun