Kau terlalu sibuk dengan khayalan bagaimana cara menyelami terumbu di lautan. Di sana banyak tersembunyi mutiara yang diperangkap tiram. Kau ingin meroncenya seperti rangkaian melati yang menghias pelaminan.
Waktu bagimu adalah ruang gelap tak berlampu. Seringkali membuatmu tertipu apakah sedang bertemu pengampu atau hanyalah menjumpai pilar-pilar jemu. Waktu bagimu adalah tempat melamun paling majnun karena dihuni banyak penyamun. Setiap saat keyakinanmu mudah saja dilanun.
Aku sendiri tak sibuk apa-apa. Berdiam layaknya durjana yang sedang bersiaga untuk merompak senja. Mengulitinya, untuk kemudian menyajikannya kepada hitam. Sewarna dengan hati ini yang berulangkali lebam. Bukan karena dirajam. Namun lebih banyak karena ruam yang dijumpai sepanjang jalan.
Waktu bagiku adalah hitungan angka-angka yang tak pernah menjadi sempurna. Singgah di sini dan sana hanya untuk sementara. Jarang bisa berhenti berdiam diri. Kecuali ruhnya tercabut dari baterai yang mati.
Selisih jalan kita sebanyak bintang-bintang atau sekedar sebaris kunang-kunang? Selisih waktu kita sebesar angkasa atau hanya berjarak antar tetangga?
Aku rasa kita sebaiknya mengabaikan kosakata letih. Supaya kita tak selalu berselisih. Selain perih, berselisih bisa membawa kita begitu fasih terhadap pedih.
Bukankah pedih dan perih adalah golongan perkara yang nyaris akan selalu membuat kita terluka? Sedangkan membebat masa lalu saja kita masih harus memejamkan mata. Tak kuat melihat bekasnya yang meruyak menganga. Apalagi bila harus ditambah dengan luka baru yang membuat kita tenggelam dalam histeria.
Jakarta, 9 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H