Aku tidak tahu lagi. Apakah mesti mengumpulkan remah-remah cahaya matahari, menganggapnya sebagai setangkup roti, untuk sarapan pagi ini? Sedangkan tenggorokanku masih tercekat amarah yang berlipat. Oleh sebuah khianat.
Mungkin sebaiknya aku menghancurkan cermin saja. Agar tak usah aku melihat mataku yang bersaga. Dari setiap retakannya, aku goreskan pada denyut nadi yang tersisa. Aku akan menghitung berapa detik kecepatan darahku mengalir. Supaya aku tahu di titik mana terletak berhentinya takdir.
Sekarang hatiku sedang berlaga. Melawan birunya langit dengan tak memandangnya. Melawan kecantikan pagi dengan tak melihatnya. Melawan indahnya cuaca dengan tak merasakannya.
Secarik surat yang aku tulis sejak dinihari masih terbengkalai. Banyak sekali tanda baca yang kusut masai. Terseret-seret oleh kalimat yang kehilangan muka. Memberi arti tentang raksasa buruk rupa yang hendak menculik dewi shinta. Demi sebuah legenda yang kelak akan membunuh dirinya.
Robekan-robekan kertas menggunung di lantai yang murung. Sajak dan puisi yang tak pernah jadi karena digiring menuju tiang gantung.
Terlepaslah kepala demi kepala kontradiksi interminis, judul demi judul apokaliptis, dan bab demi bab yang berakhir tragis.
Ini semua tak lebih dari kisah sintesis yang terlalu matematis!
Jakarta, 9 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H