Beberapa larik kilat menjatuhi bumi dan memenuhi selasar. Menjadikannya sebuah syair menggelegar diiringi musik hingar-bingar. Pada kejadian ketika derasnya hujan berdansa dengan kota besar.
Langkah-langkah dansa mengetuk lantai kota. Memeluk cahaya lampu jalanan yang meliuk-liuk sempurna. Makin lama makin remang. Selain petang telah datang, ternyata kabut pun ikut pulang.
Riuh rendah percakapan sama sekali tak ada. Irama dansa menggila. Hujan dan kota saling memagut. Basah dan kerontang saling bertaut. Menjadikan suasana petang mendadak begitu sumir. Penuh dengan aroma sihir.
Orang-orang memilih untuk berteduh. Di bawah naungan rumah-rumah yang ikut berpeluh. Hampir semua hati mendekati runtuh. Cuaca yang begitu gaduh sangat mudah membuat perasaan siapapun rusuh.
Pada saatnya hujan berhenti, dan kota kembali sadar diri, dansa-dansa berubah menjadi iring-iringan peti mati. Semuanya kembali pada sunyi.
Seperti hakikat arti dari istana orang mati.
Jakarta, 4 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H