Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Suatu Saat, Ketika Hujan Berdansa dengan Kota Besar

4 April 2019   14:49 Diperbarui: 4 April 2019   15:13 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa larik kilat menjatuhi bumi dan memenuhi selasar. Menjadikannya sebuah syair menggelegar diiringi musik hingar-bingar. Pada kejadian ketika derasnya hujan berdansa dengan kota besar.

Langkah-langkah dansa mengetuk lantai kota. Memeluk cahaya lampu jalanan yang meliuk-liuk sempurna. Makin lama makin remang. Selain petang telah datang, ternyata kabut pun ikut pulang.

Riuh rendah percakapan sama sekali tak ada. Irama dansa menggila. Hujan dan kota saling memagut. Basah dan kerontang saling bertaut. Menjadikan suasana petang mendadak begitu sumir. Penuh dengan aroma sihir.

Orang-orang memilih untuk berteduh. Di bawah naungan rumah-rumah yang ikut berpeluh. Hampir semua hati mendekati runtuh. Cuaca yang begitu gaduh sangat mudah membuat perasaan siapapun rusuh.

Pada saatnya hujan berhenti, dan kota kembali sadar diri, dansa-dansa berubah menjadi iring-iringan peti mati. Semuanya kembali pada sunyi.

Seperti hakikat arti dari istana orang mati.

Jakarta, 4 April 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun