Sudahkah habis candu di mulutmu?
Aku membutuhkannya untuk merayu malam yang terbungkuk-bungkuk menahan beban. Di punggungnya meringkuk potongan bulan. Di pangkuannya bergeletakan bintang-bintang yang dilupakan oleh rasi ramalan. Dan dari matanya mengalir kesedihan langit yang sedang merasa kehilangan.
Entah apa. Barangkali hanya karena menghilangnya mega-mega. Dirompak para durjana yang mengaku sebagai pecinta hujan. Namun hanya untuk kemudian membuangnya di selokan.
Aku akan mencampurnya dengan madu yang aku lanun dari lebah-lebah pohon sialang!
Aku aduk dalam cawan-cawan yang ditumpahi anggur memabukkan bagi orang yang sedang menjatuhkan cinta lalu patah hati karenanya. Atau orang yang sedang mematahkan cinta untuk kemudian jatuh hati pada kesialannya. Sama saja. Tak ada bedanya.
Masih adakah kurma yang tersisa di bibirmu?
Aku perlu untuk menghangatkan kegelapan yang membawa rasa hati yang begitu curam. Dari para kekasih yang memintal airmatanya di kisi-kisi jendela berkaca buram. Mereka mungkin kesepian. Atau bisa jadi hanya kehabisan kata mencinta. Lalu berkata-kata melalui airmata.
Jadi ini semua tentang apa?
Pahamilah saja. Ini semua tentang persembahan kolase kata-kata di malam yang kehilangan rasa.
Supaya kita semua tidak kehilangan harapan akan bahagia.
Bogor, 2 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H