Dalam hidup yang terbatas, kita sebenarnya sedang berada di garis batas yang mudah diretas. Identitas kita tak lebih dari adonan angka yang mudah dibentuk menjadi apa saja. Kita terperangkap di dalamnya, tapi setiap harinya kita mengumumkan bahwa telah sepenuhnya menggenggam dunia.
Itu semua retorika sederhana yang disengaja. Dari seolah yang dipertuan, kita sesungguhnya adalah tubuh bernafas yang menghamba pada rantai makanan.
Kita semua dipermainkan. Oleh segala macam mainan yang kita ciptakan. Kita lantas menjadi etalase yang menjual apa saja. Termasuk pikiran kita yang cuma satu-satunya.
Saat dunia bergerak semakin cepat. Kita bereaksi sedemikian lambat. Kita terseret-seret. Sampai-sampai hati kita babak belur penuh lecet.
Peradaban kita sanjung setinggi langit. Sedangkan langit kita lubangi dengan segala macam rasa sakit. Kita bangga dengan teknologi yang menuntun kita pada banyak kemudahan. Sementara hal-hal mudah dengan gampangnya kita rekayasa dalam kerumitan tak terbayangkan. Hingga isi kepala kehilangan nalar. Bahkan api yang sedang menyalapun kita bakar.
Tanpa sadar sebetulnya kita merubah diri kita semakin barbar.
Semakin jauh lagi. Kita mencampuri urusan Tuhan seakan-akan sebuah hobi. Tanpa tahu kita ini sedang dikuliti. Lalu disamak oleh rasa sepi. Sendiri.
Bogor, 31 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H