Belantara kaca mengelilingi. Masing-masing memamerkan diri. Dengan pantulan spektrum rumit dari cahaya senja dan lampu jalan yang mulai menyala. Sementara gang-gang sempit diramaikan oleh anak-anak mengayuh sepeda. Di antara lalu-lalang ketergesaan orang-orang yang hendak pulang.
Kota yang tak pernah tidur ini menguap lebar-lebar. Tenggorokannya menguarkan asap hitam dan pandangan nanar. Dari angkutan kota tua renta, bus-bus yang badannya terkelupas oleh usia dan tatapan gemas para sopirnya mengawasi kemacetan yang menggila.
Aku mencari-cari. Di mana pohon-pohon hijau yang layak untuk menyinggahkan kepenatan hati. Atau paling tidak bunga-bunga merah yang meriah. Agar bisa menyandarkan sejenak mata yang lelah.
Tak ada!
Kalaupun ada, daun dan bunganya kusam berjelaga. Dengan pori-pori menyempit seperti kulit arca yang salah pahatannya.
Tak apa. Setidaknya aku menemukan sehelai daun hijau tua. Sepertinya baru terjatuh dari pohon nangka. Di sela-sela gedung yang berhimpitan dan saling memagutkan bibir. Melepaskan mantra-mantra serupa sihir; kalau kau mendatangi kota, tak usah kau ketuk pintunya. Lewatlah pintu belakang. Niscaya kau akan balik tunggang langgang.
Jakarta, 28 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H