Lini masa menggelayut di setiap ujung mata orang-orang yang terpaku pada bersliwerannya berita yang mancala rupa menjadi guna-guna bagi nyaris siapa saja.
Separuh hari dihabiskan untuk menghuni kamar-kamar pengap dan gelap di lini masa yang sengaja tak diberi cahaya. Agar orang-orang lupa ada di mana lantas menyulut keyakinan begitu saja.
Kemudian percaya dan sebaliknya mendadak menjadi begitu samar. Seperti burung Nazar yang salah memakan mayat saudagar padahal yang diincar adalah bangkai orang barbar.
Semua perihal tiba-tiba saja menjadi gagal. Lini masa juga berperan sebagai jagal. Menyembelih apa yang disebut baik-baik saja dan menjadikan raja apa saja yang dinamakan isu-isu durjana.
Dunia seolah membalik arah jarum jam. Pendulum-pendulum berderak-derak melawan. Tapi percuma, lini masa adalah dewa yang belum beberapa lama dinobatkan menjadi tuhan.
Tak lama lagi, tuhan baru ini akan mengambil alih segala lini. Orang-orang akan dengan senang hati menjadi kurcaci, selama lini masa tetap membanjiri mereka dengan janji dan mimpi.
Tuhan yang sebenarnya. Yang Satu-satunya. Hanya bisa membelalakkan mata. Lalu menutup kedua telinga. Lini masa begitu gencar berbicara atas namaNya.
Padahal Dia sedang berdiam diri dan tak memberi kuasa apa-apa.
Astaga!
Jakarta, 27 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H