Laut punya cara sendiri, untuk menyatakan keganasan, lalu menyatukan keinginan. Dalam kerasnya badai dan panjangnya garis pantai yang landai.
Bila saja terjadi lautan sanggup menghapus airmata para ibunda yang merindukan anak-anaknya setelah sekian lama hanya disalami oleh suara, ia akan mengirim anginnya yang paling lembut, beserta kepak sayap burung camar menyambar permukaan rumput laut, agar para ibunda tersenyum syahdu, seperti saat menyusui anak-anaknya kala dahulu.
Jika lautan menjadi tempat terbaik untuk mengadu tentang hati yang tersayat-sayat oleh potongan masa lalu, ia akan mengirim lagu-lagu yang dinyanyikan paus biru, mengiringinya dengan seringai tajam peringatan melalui gigi taring ikan hiu, lantas memerintahkan separuh samudera tertawa, memberi isyarat bahwa masa lalu bukanlah kegagalan rencana, namun hanya selintasan berita yang kedaluarsa.
Ketika lautan menjadi tempat perhentian dan bukan persinggahan. Bagi para kekasih yang ditelikung hati pada rindu tak berkesudahan. Ia akan meminta para peri penghuni lautan dalam, agar diam. Supaya bisa mendengarkan dan akhirnya paham. Rindu bisa dinaikkan sanggurdi gelombang. Hingga bisa menjilati kaki pesisir yang telanjang. Tempat terapik para kekasih menunggu. Kabar terbaik tentang rindu.
Laut punya cara sendiri, untuk berkisah tentang perpisahan, lalu berkasih dengan pertemuan. Lelaki dan perempuan yang menautkan tali cinta pada galangan. Berharap selamanya tak terpisahkan.
Oleh paragraf tak pernah selesai, ending yang terburai, maupun tamat yang tak juga usai.
Jakarta, 26 Maret 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI