Wajahmu mendadak muncul di mana-mana. Di spion bus kota menggantikan palang yang menganga untuk menghalang para penyintas yang memaksakan diri untuk melarikan diri. Dari kepungan rasa. Juga sergapan realita. Sementara yang dikejar tetaplah perihal maya.
Suaramu merebut lagu-lagu di radio yang sedang diputar untuk mengenang keseluruhan semesta cinta. Menggema di udara hanya untuk menusuk daun telinga. Menyisir urat syaraf yang lebih tegang daripada kabel-kabel listrik yang lebih rumit dari sarang laba-laba. Juga lebih riuh dibanding kabel-kabel telepon yang di dalamnya terekam suara para casanova sedang merayu para perempuan yang tidak mengangguk namun iya-iya saja.
Sajak-sajak liris yang tak hendak menua meremajakan dirinya dengan mengunyah kata-kata paling buta. Tak sanggup melihat betapa tajamnya bisa menggugah benak dan otak yang tertidur lama. Luar biasa!
Ramalan-ramalan tentang bintang mati dan juga rasi yang sebelumnya dicampakkan, kembali dikumpulkan. Sebagai bahan percakapan tak habis-habis antara asa yang putus dan keyakinan yang menjadi rumus. Ini cara paling halus agar hati kembali subur menumbuhkan humus.
Petang ini, langit dan tanah menjadi dirinya sendiri. Melalui cahaya dan remah-remah yang mampu menyulam hati patah. Juga menegakkan kembali lutut yang tertekuk lemah. Setelah sekian lama berpura-pura melakukan perjalanan yang tabah.
Malam nanti, mungkin ada mimpi yang dilahirkan bukan sebagai saudara tiri. Menjadikannya harapan nyaris sempurna. Untuk menggugah keinginan yang sebelumnya begitu merana. Tanpa sedikitpun luka!
Ini sebenar-benarnya kesimpulan. Kamu tepat berada di antara langit dan tanah yang menyembuhkan. Tanpa perlu bertukar imbalan. Karena ini semua tentang harapan. Salah satu jenis ruh yang menghidupkan!
Jakarta, 25 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H