Ini kekacauan yang monumental. Aku tersesat dalam pikiranku sendiri. Setelah menyaksikan bulan patah di tengah lautan. Di sebuah selat yang memisahkan antara pulau berapi dan salju-salju abadi. Pulau yang dihuni oleh ricuhnya hati, dan salju yang membekukan puncak rasa sunyi.
Malam yang kehilangan bulan. Tertatih-tatih pergi. Dari sudut mataku yang dibalur pelangi. Meski tak ada hujan, maupun bias cahaya matahari.
Kekacauan ini harus segera pergi. Jika tidak, aku akan menjadi mumi. Diawetkan masa silam dan dibebat kesepian. Sendirian.
Pagi datang. Membawa kabar bahwa bulan telah sepenuhnya hilang. Tidak jatuh ke pangkuan siapa-siapa. Juga tanpa isyarat apa-apa. Lenyap dengan gegas. Senyap tanpa bekas.
TB, 24 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H