Kota ini, yang dituliskan banyak pujangga sebagai koloni putus asa, terbangun dalam gegap gempita. Orang berduyun-duyun memasuki gerbangnya yang selalu menganga. Siap melahap apa saja yang bergerak. Ke sebuah bejana yang diaduk bersama asap dan dahak.
Kota ini, dibangun serupa sarang lebah hitam. Menyimpan rasa manis jauh di dalam. Sementara di luar, sengat-sengat mematikan menjaganya dengan keberanian serdadu. Dari siapa saja yang berniat mengusik dan mengganggu.
Membaca kisah kota ini, adalah membaca konsonan dan vokal tanpa bunyi. Hanya ada suara gemuruh. Luruh di telinga para pengadu nasib yang bergaduh dengan keinginannya yang sore nanti kebanyakan runtuh.
Menulis ulang sejarah kota ini, adalah menulis kisah-kisah usang yang kembali diperbaharui. Dari gedung-gedung tua yang catnya dikelupas oleh waktu, hingga menara-menara kaca yang anggun, angkuh dan berkepala batu.
Kota ini, seringkali mentertawakan dirinya sendiri. Melihat sebagian besar penghuninya memilih menyeduh mie instan sebagai makan siang, sementara dapur restoran sekitar mereka memonumenkan sisa makanan, sebagai bagian dari slogan kemewahan. Â
Kota ini dan kota itu, instrumen peradaban yang apatis. Tapi mampu menggiring orang-orang ke dalam kelelahan gigantis. Lalu mati secara tragis.
Kemudian menguburnya menggunakan nomor antrian yang dikeluarkan para advokat. Karena kuburan di kota bertingkat-tingkat. Tergantung siapa yang dikubur, apakah pejabat, rakyat, atau keparat.
Jakarta, 18 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H